Tempo 27
Januari 1973. Pengurus persija periode 1972-1974 berhasil disusun,
sukahar masih di pucuk pimpinan. ada beberapa pengurus baru yang mungkin
dapat merubah suasana baru persija. komposisi pengurus dianggap ideal.
TERTUNDANYA Rapat Anggota Persija sejak Nopember tahun lalu, hanya menunda terpilihnya kembali Drs Sukahar sebagai Ketua Umum Persija yang baru. Tanggal 14 Januari yang lalu sebanyak 27 dari 31 klub anggota Persija telah meluangkan 8 jam dari hari minggunya untuk menyusun Pengurus periode 1972–1974. (lihat box: Susunan Pengurus Persija 1972-1974).
Sudah barang tentu tampilnya Sukahar untuk sekian kalinya di pucuk pimpinan persepakbolaan Ibukota disambut pendukungnya dengan rasa gembira, meski tidak kurang pula yang memberi reaksi urut dada. Tetapi nampaknya ada titik pertemuan di antara mereka: kewibawaan Danjen Akabri yang berpangkat Irjen Pol ini masih dirasakan dominan untuk bisa ditinggalkan begitu saja. Ini terbukti 38 dari 68 suara sidang yang direbutnya dibandingkan dengan 27 sara yang diperoleh Drs Sukendro, tokoh baru dari Ps Mahasiswa.
Shock therapy. Adakah dengan kewibawaan melulu bond sepakbola Ibukota ini dapat direvisi? Jawabnya tersurat dan tersirat dalam komposisi kepengurusan. Di samping Sukendro sebagai ketua, Hutasoit yang selama ini dikenal sebagai penggerak Persija dikukuhkan pula sebagai ketua bersama Utarjo dari Indonesia Muda. Ditambah dengan Surojo sebagai Sekretaris, juga pendatang baru dari IM, nampaknya slok therapy sewaktu-waktu bisa terjadi untuk menyehatkan Persija. Semenara roda kompetisi yang lazim dijadikan barometer persepakbolaan Jakarta, akan dikemudikan oleh Eddie Hutabarat tokoh dari klub Oliveo yang lebih menonjol kritik-kritiknya terhadap pengurus lama dari pada mutu kesebelasannya. Kepada Pemimpin Kompetisi Persija yang baru ini publik mengharapkan produk tontonan yang leratur dan dan lumayan. Dan untuk mencapai sasaran ini agaknya Pemimpin Kompetisi tidak bisa lain kecuali mengambil inisiatif merombak sistim kompetisi sekarang berlaku.
Komisi Teknik. Sementara lembaga Komisaris yang membawahi berbagai panitia akan disusun kemudian oleh pengurus harian (terdiri dari para ketua, sekretaris, bendahara dan pemimpin kompetisi), nampaknya soal pembinaan dan penyusunan team akan merupakan masalah juga. Apakah Panitia Teknik (Komisi Teknik) akan langsung dikepalai oleh salah seorang dari 4 komisaris ataukah langsung dipimpin oleh salah seorang ketua dari Pengurus Harian. Atau mungkin juga berdiri sendiri dengan tanggung jawab melalui Komisaris atau langsung kepada salah seorang ketua. Tapi rupanya berbagai kesulitan Persija dan komposisi pengurus yang baru ini sudah dipertimbangkan matang-matang beberapa hari menjelang Rapat tanggal 14 Januari. Konon Indonesia Muda dan Ps Mahasiswa telah menyebarkan “Evaluasi Persija Tahun 1970-1972″ sebagai bahan lobby. Dalam evaluasi tersebut para anggota digugah untuk turut menanggulangi beberapa kesulitan seperti: Kompetisi brengsek klub-klub tidak dapat berkembang penonton kompetisi kurang dan keuangan klub sangat lemah. Meskipun masalah yang dikemukakan itu bukan barang baru, tapi jika dilihat enthusiasme dan hasrat Sukendro dari Ps Mahasiswa yang dikemukakan pada TEMPO menjelang rapat pemilihan, mudah diduga komposisi sekarang adalah “ideal” – paling tidak bagi mereka yang mendukung pembaharuan. lihat box: Lima Pola Sukendro.
“Biru-putih”. Dalam rapat pemilihan yang lalu itu menarik perhatian juga sikap sementara anggota yang dikenal sebagai klub berpotensi besar tapi tidak kentara ambisinya untuk mendapatkan kursi kepengurusan. Terutama UMS yang kini tengah mengalami penyegaran’ pimpinannya. Emon Sajidiman, Ketua klub “Biru putih” ini menerangkan pada TEMPO, bahwa “sebaiknya fungsi Persija tidak lebih dari kordinator yang menciptakan iklim baik buat perkembangan klub-klub anggotanya”. Apa yang dimaksudkan dengan “iklim baik” itu tidak lain adalah “penyediaan fasilitas lapangan latihan, kebebasan kepada klub-klub untuk memperkembangkan diri dan lain sebagainya”. Sebagai pimpinan perusahaan cat Warna Agung yang kini menarnpung kepengurusan UMS dan kegiatannya di Persija, Emon mengingatkan bahwa “Persija bukan super klub. Sebab tanpa klub tidak akan ada Persija”.
Adakah konsep praktis dari pimpinan yang baru untuk membantu pembinaan klub-klub? Inilah yang dituntut. Dan issue klub-sentris versus bond-sentris nampaknya akan tetap mewarnai tahun kerja pengurus 1972-1974.
***
Susunan Pengurus Persija Periode 1972-1974
Ketua Umum : Sukahar Ketua : Sukendro Ketua : F.H. Hutasoit Ketua : Utarjo Sekretaris I : Surojo Sekretaris II : Rudy Tambajong Bendahara I : S.J. Siahaja Bendahara II : D. Tuhuleru Pemimpin Kompetisi I : Eddy Hutabarat Pemimpin Kompetisi II: Sukarman Dipo
Sumber : Tempo 27 Januari 1973.
TERTUNDANYA Rapat Anggota Persija sejak Nopember tahun lalu, hanya menunda terpilihnya kembali Drs Sukahar sebagai Ketua Umum Persija yang baru. Tanggal 14 Januari yang lalu sebanyak 27 dari 31 klub anggota Persija telah meluangkan 8 jam dari hari minggunya untuk menyusun Pengurus periode 1972–1974. (lihat box: Susunan Pengurus Persija 1972-1974).
Sudah barang tentu tampilnya Sukahar untuk sekian kalinya di pucuk pimpinan persepakbolaan Ibukota disambut pendukungnya dengan rasa gembira, meski tidak kurang pula yang memberi reaksi urut dada. Tetapi nampaknya ada titik pertemuan di antara mereka: kewibawaan Danjen Akabri yang berpangkat Irjen Pol ini masih dirasakan dominan untuk bisa ditinggalkan begitu saja. Ini terbukti 38 dari 68 suara sidang yang direbutnya dibandingkan dengan 27 sara yang diperoleh Drs Sukendro, tokoh baru dari Ps Mahasiswa.
Shock therapy. Adakah dengan kewibawaan melulu bond sepakbola Ibukota ini dapat direvisi? Jawabnya tersurat dan tersirat dalam komposisi kepengurusan. Di samping Sukendro sebagai ketua, Hutasoit yang selama ini dikenal sebagai penggerak Persija dikukuhkan pula sebagai ketua bersama Utarjo dari Indonesia Muda. Ditambah dengan Surojo sebagai Sekretaris, juga pendatang baru dari IM, nampaknya slok therapy sewaktu-waktu bisa terjadi untuk menyehatkan Persija. Semenara roda kompetisi yang lazim dijadikan barometer persepakbolaan Jakarta, akan dikemudikan oleh Eddie Hutabarat tokoh dari klub Oliveo yang lebih menonjol kritik-kritiknya terhadap pengurus lama dari pada mutu kesebelasannya. Kepada Pemimpin Kompetisi Persija yang baru ini publik mengharapkan produk tontonan yang leratur dan dan lumayan. Dan untuk mencapai sasaran ini agaknya Pemimpin Kompetisi tidak bisa lain kecuali mengambil inisiatif merombak sistim kompetisi sekarang berlaku.
Komisi Teknik. Sementara lembaga Komisaris yang membawahi berbagai panitia akan disusun kemudian oleh pengurus harian (terdiri dari para ketua, sekretaris, bendahara dan pemimpin kompetisi), nampaknya soal pembinaan dan penyusunan team akan merupakan masalah juga. Apakah Panitia Teknik (Komisi Teknik) akan langsung dikepalai oleh salah seorang dari 4 komisaris ataukah langsung dipimpin oleh salah seorang ketua dari Pengurus Harian. Atau mungkin juga berdiri sendiri dengan tanggung jawab melalui Komisaris atau langsung kepada salah seorang ketua. Tapi rupanya berbagai kesulitan Persija dan komposisi pengurus yang baru ini sudah dipertimbangkan matang-matang beberapa hari menjelang Rapat tanggal 14 Januari. Konon Indonesia Muda dan Ps Mahasiswa telah menyebarkan “Evaluasi Persija Tahun 1970-1972″ sebagai bahan lobby. Dalam evaluasi tersebut para anggota digugah untuk turut menanggulangi beberapa kesulitan seperti: Kompetisi brengsek klub-klub tidak dapat berkembang penonton kompetisi kurang dan keuangan klub sangat lemah. Meskipun masalah yang dikemukakan itu bukan barang baru, tapi jika dilihat enthusiasme dan hasrat Sukendro dari Ps Mahasiswa yang dikemukakan pada TEMPO menjelang rapat pemilihan, mudah diduga komposisi sekarang adalah “ideal” – paling tidak bagi mereka yang mendukung pembaharuan. lihat box: Lima Pola Sukendro.
“Biru-putih”. Dalam rapat pemilihan yang lalu itu menarik perhatian juga sikap sementara anggota yang dikenal sebagai klub berpotensi besar tapi tidak kentara ambisinya untuk mendapatkan kursi kepengurusan. Terutama UMS yang kini tengah mengalami penyegaran’ pimpinannya. Emon Sajidiman, Ketua klub “Biru putih” ini menerangkan pada TEMPO, bahwa “sebaiknya fungsi Persija tidak lebih dari kordinator yang menciptakan iklim baik buat perkembangan klub-klub anggotanya”. Apa yang dimaksudkan dengan “iklim baik” itu tidak lain adalah “penyediaan fasilitas lapangan latihan, kebebasan kepada klub-klub untuk memperkembangkan diri dan lain sebagainya”. Sebagai pimpinan perusahaan cat Warna Agung yang kini menarnpung kepengurusan UMS dan kegiatannya di Persija, Emon mengingatkan bahwa “Persija bukan super klub. Sebab tanpa klub tidak akan ada Persija”.
Adakah konsep praktis dari pimpinan yang baru untuk membantu pembinaan klub-klub? Inilah yang dituntut. Dan issue klub-sentris versus bond-sentris nampaknya akan tetap mewarnai tahun kerja pengurus 1972-1974.
***
Susunan Pengurus Persija Periode 1972-1974
Ketua Umum : Sukahar Ketua : Sukendro Ketua : F.H. Hutasoit Ketua : Utarjo Sekretaris I : Surojo Sekretaris II : Rudy Tambajong Bendahara I : S.J. Siahaja Bendahara II : D. Tuhuleru Pemimpin Kompetisi I : Eddy Hutabarat Pemimpin Kompetisi II: Sukarman Dipo
Sumber : Tempo 27 Januari 1973.
Artikel Tempo 22 Desember 1973 : HADIAH JUARA BUAT WARGA KOTA ( PERSIJA JUARA 1973 )
Kesebelasan Persija berhasil mengalahkan kesebelasan Persebaya (1-0) dalam grandfinal kejuaraan nasional PSSI. Persebaya bermain kasar dan nyaris terjadi baku hantam. Wasit Djuremi tak berwibawa.
DI bawah tatapan mata gubernur Moh. Noer, kesebelasan Persebaya berbuat segala-galanya untuk merebut kembali gelar juara yang pernah direnggutnya 21 tahun yang lalu — termasuk bermain keras. Namun lebih dari 100.000 perionton Stadion Utama menyaksikan pula bahwa permainan keras yang menjurus kotor itu justru merupakan racun yang membunuh peluang juara Persebaya. Malam itu, Selasa tanggal 12 Desember, praktis merupakan peristiwa ulangan dua tahun yang lalu (6 Oktober 1971) di antara kedua kesebelasan dalam memperebutkan Kejuaraan Nasional PSSI. Dan dengan posisi tanpa kompromi yang kurang menguntungkan Persija, semula para pecandu bola dihadapkan pada teka-teki, taktik dan strategi apa yang akan dikembangkan oleh kedua kesebelasan pada saat-saat yang menentukan itu.
Daerah-tak-bertuan. Tapi rupanya untuk menjawab teka-teki itu, sepak-terjang Rusdi Bahalwan, back kiri Persebaya, memegang kuncinya. Menit-menit pertama ia berpapasan dengan Iswadi kanan-luar Persija, dan cara Rusdi membendung terobosan Kapten Persija ini, segera menjawab dengan komplit apa yang akan terjadi pada sisa-sisa pertandingan yang masih panjang. Ditambah pula dengan Wasit Djuremi yang berkwalifikasi kelas FIFA — tapi agaknya lupa membawa kartu merah — jelas pimpinannya ini memberi inspirasi bagi Persija untuk melayani tantangan lawan di kandang sendiri. Begitulah jadinya: ketika Sutan Harhara berusaha menghadang Kadir dengan cara Rusdi, arena pertandingan nyaris berubah menjadi daerah tak bertuan. Pada menit ke-15 dan selama 6 menit: petugas keamanan, wartawan-foto, ofisial dan cadangan kedua kesebelasan turut sibuk di dalam adegan yang disensu TVRI. Nampaknya siasat Persebaya unluk menteror mental anak-anak Ibukota dengan kekerasan fisik paling tidak untuk sementara berhasil. Ketika Iswadi dan Jacob Sihasale setuju untuk melanjutkan permainan, Anjasmara, Sofyan Hadi dan Sumirta nampaknya mulai ciut nyalinya. Sementara Iswadi lebih berhati-hati, meski dalam duel ia toh memperlihatkan kelihayannya untuk mengelak ataupun menggasak kaki lawan. Di dalam kemelut keras lawan keras tanpa wibawa wasit Djuremi, hanya etika pemain dan disiplin penonton agaknya yang menyelamatkan final ini dari situasi yang memburuk.
Bermuka-kartu. “Sayang Persija terpancing oleh permainan kasar Persebaya”, kata Sarman Panggabean pada TEMPO sewaktu turun minum. “Mereka sebenarnya jangan meladeni”, tambah Ronny Paslah yang turut menyaksikan di pinggir lapangan. Kedua pemain edan itu bukan tidak tahu bahwa resep mujarab yang biasa dipaka PSMS mengalahkan Persija, kini sedang ditrapkan Persebaya terhadap anak-anak Jaya. Tapi rupanya lain Medan, lain Persebaya. Yang pertama memancing kemarahan lawan, bikin groggy mentalnya dan mencuri peluang ketika lawan lengah. Sementara Persebaya lebih mirip menjaring, hantam-kromo dan merusak keseimbangan kerjasama trio Ngurah Ray – Waskito – Kadir. Dan jangan lupa pemain seperti Risdianto yang selalu bermuka-polos bukan tidak tahu ia dan rekan-rekannya berada dalam jaring Persebaya. Itulah sebabnya di babak kedua ketika kiper Tjong dan barisan belakang Persebaya bersantaisantai mempermainkan bola – dengan maksud mengulur waktu dan memaksa pertandingan berakhir seri – Risdianto mengatur barisan depan Persija memulihkan kepercayaannya. Kesempatan itu akhirnya tiba di menit ke-78, ketika Andi Lala yang menggantikan Arwiyanto dimakan Diono. Tendangan bebas untuk Persija dali daerah penalti Persebaya terjadi. Risdianto berbisik pada Lala. Barangkali penyerang-tengah Persija ini mengingatkan rekannya bahwa dalam beberapa pertandingan terdahuhl ia terlampau sering mengecewakan suporter Persija dalam adegan di muka gawang. Dan dengan sebuah cuilan, bola disuguhkan pada Lala. Pekerjaan selan jutnya adalah menggenjot biji longkong itu ke sudut kanan gawang Persebaya. Seantero Stadion bergema. Yang tua yang muda, semuanya bangkit menyambut bobolnya gawang Tjong. Hadiah Natal dan Tahun Baru bagi warga ibukota. Bola bergulir lagi. Kini giliran Hudo Hadianto bersantai-santai. Wasit Djuremi nampaknya bingung melihat Persija bisa menang. Dan iapun makin melongo ketika Persija sama pandainya mengulur-ulur waktu.
Biang Kerok. “Tiada perarutan untuk menindak taktik mengulur waktu”, kata Ketua Komisi Wasit PSSI, Besus. Meskipun Besus mengakui bahwa biangkerok yang merampas mutu final kejuaraan 1973 ini diawali pada menitmenit pertama, ketika Djuremi sudah harus memperingatkan Rusdi Bahalwan dengan kartu kuning. “Saya akui pimpinan wasit amat buruk”, katanya pada TEMPO seusai pertandingan. Dan brengseknya pimpinan wasit itu tak perlu dipungkiri, ikut pula merusak mutu permainan yang semula diharapkan paling tidak bisa berkembang seperti dalam final Persija – Persebaya (1-1) dua tahun lalu. Tapi siapa nyana, kali ini ditutup dengan pertandingan yang paling jorok dari seluruh pertandingan di babak final kejuaraan 1973. Dan siapapun yang mencintai olahraga keras ini, toh tidak akan memicingkan mata terhadap pemerkosaan kaidah-kaidah permainannya.
Sumber : Tempo 22 Desember 1973
Artikel Tempo 12 Januari 1974 : Empat Tahun Kesebelasan Jayakarta
Dalam usia 4 tahun Jayakarta mencoba meningkatkan kegiatannya dengan pertandingan international, ke Malaysia, melawan kesebelasan Wacker (Jer-Bar). Jayakarta masuk ke Divisi I Persija.
MENGINJAK usia 4 tahun, “kami coba meningkatkan kegiatan kami dalam pertandingan internasional”, kata Frans Hutasoit, Ketua PS Jayakarta yang untuk tahun 1973 sekaligus merebut gelar “Penunjang Olahraga” (dari SIWO/PWI Jaya) dan “Pembina Olahraga” (dari SIWO/PWI Pusat). Dan pertandingan internasional “kecil-kecilan” buat Jayakarta memang terjadi di Stadion Utama Senayan pekan lalu dengan kesaksian sekitar 15.000 penonton.
Rupanya berbeda dengan PS Pardedetex dulu, team sepakbola yang disonsori Yayasan Jaya Raya ini memilih jalan dari anak-tangga paling bawah. Tahun lalu, diam-diam Jayakarta melawat ke Malaysia dan melakukan serangkaian pertandingan dengan team setempat untuk mengukur diri. Puas atau tidak hasilnya, nampaknya pimpinan Jayakarta bertekad meningkatkan kegiatannya dalam pertandingan internasional di kandang sendiri tahun ini juga. Apalagi kebetulan sekali Kesebelasan Wacker — kesebelasan amatir Jerman Barat — mengadakan perlawatan ke Asia dengan sponsor Pemerintah mereka. Begitu jadinya: debut Jayakarta dalam pertandingan internasional melawan Wacker dengan hormat mempersilahkan para penggemar sepak bola untuk menilainya.
Main kayu. Kini setelah Jayakarta melampaui fase pertama dan lulus masuk ke Divisi I Persija, orang bukannya ingin menilai klub yang terbanyak memberi suplai pemain bagi Persija dari ukuran nasional melainkan juga dari segi potensi inter-nasionalnya — dan terutama mutu komersilnya. Dari sudut pandangan ini orang tak usah ragu menyimpulkan bahwa Jayakarta masih harus menempuh perjalanan jauh untuk bisa mencapai taraf kesebelasan Pardedetex (yang pada waktu itu mayoritas terdiri dari pemain nasional). Kekalahan 1-2 lawan Wacker ikut pula menelanjangi ke-amatir-an para pemain Jayakarta: polos, sopan dan ragu-ragu untuk bermain keras dan licik. Mungkin saja itu semua adalah hasil pembinaan di asrama yang serba disiplin dan jauh dari sifat-sifat keberandalan sebagaimana lazimnya pada anak-bola. Ini pun bukan berarti mercka adalah penakut.
Pernah terjadi dalam kompetisi Persija tahun lalu mereka tak sungkan melibatkan diri dalam perkelahian total (lawan UMS). Tapi yang dimaksud di sini tentunya bukanlah sebuah nasehat supaya Jayakarta memilih jalan singkat: menangkan pertandingan dengan “main kayu”. Agaknya peranan pemain Iswadi pada Indonesia Muda, Salmon Nasution pada Maluku, Risdianto pada UMS, Oyong Liza pada Jakarta Putera dan sebagainya, perlu juga dipelajari Jayakarta. Dewasa ini nama Anjasmara Sutan Harihara, Sofyan Hadi, Andi Lala dan Sumirta tidak kurang komersilnya dari pemain nasional mana pun. Tapi memasuki “tahun macan 1974″ ini jelas mereka bukan tidak mungkin diperlakukan lawan sebagai “macan kertas” belaka.
Jayakarta di medan pertandingan mutlak membutuhkan seorang kapten yang tenang dan matang dalam setiap situasi krisis, tapi tanpa mengurangi fanatisme dan tak segan-segan bertindak keras, licik malahan kotor dalam batasbatas yang dibolehkan. Dalam sejarah sepakbola mentalitas salon — teknik tinggi dan kerjasama mulus, misalnya bukan tidak sering “sekali digebrah main kasar, terus bubar”. Jayakarta benar-benar minus seorang (saja) tokoh pemain yang kwa bakat sepakbolanya inhaerent pula dengan 1 kelicikannya.
Artikel Tempo 23 November 1974 : UJUNG PANDANG GONDOL PIALA SURATIN 74
TURNAMEN Empat Besar memperebutkan Piala Suharto tampaknya lebih menarik dari pertandingan internasional manapun.
Nafsu keempat kesebelasan untuk merebut piala juga selalu merangsang pejabat daerah yang bersangkutan untuk lebih giat memompa semangat anak-anak mereka. “Anak-anak Jakarta harus lebih fanatik”, kata Ali Sadikin beberapa hari menjelang turnamen. Sementara ketiga kesebelasan lain melalui masing-masing tokoh mereka juga sesumbar menambah ramai perhitungan di atas kertas sebelum bola digulirkan. “Kami datang dengan pemain muda untuk mencari pengalaman”, ujar Daeng Patompo rendah hati.
Paling menarik tentulah tekad ketiga kesebelasan daerah yang sama berprinsip: biar tak bawa piala asal jangan kalah dari Persija. Regu ibukota punya persiapan paling matang dibanding ketiga saingannya. Iswadi spesial didatangkan dari Australia. Namun kehadirannya memperkuat Persija disangsikan status keamatirannya oleh para team manager dalam technical meeting. “Cuma Ketua Umum yang tahu bagaimana statusnya”, begitu jawaban yang diterima Zulkarnaen, coach PSMS dalam pertemuan teknis. Bunyi peluit pertama mempertemukan PSMS lawan Persija. Hasilnya: Rp 14.095.750. Dua tahun yang lalu dalam acara yang sama, Persija unggul 1–0 dari lawannya ini. Musuh bebuyutan. Kebesaran Terompah “Kami akan main keras, sebab ini ciri khas Medan”, ujar coach Zulkarnaen. “Kami akan layani mau main cara apa saja”, jawab Aliandoe. Namun disaksikan 80.000 penonton, Persija yang konon nyali bermain kerasnya disangsikan orang (paling tidak oleh lawan mereka), sore itu menghidangkan siasat semacam “Ali kontra Foreman”.
Satu siasat yang di luar perhitungan lawannya. Dimotori Iswadi rmereka tampil dengan permainan tabah. Suaeb Rizal dan Salmon Nasution dipercaya untuk melayani kekerasan lawan. Trio lswadi Andi Lala – Sumirta melibatkan Yuswardi dan Anwar Ujang dalam mara bahaya berkepanjangan, begitu Sudarso meniup peluitnya. Lini penghubung yang diperkuat oleh Junaedi Abdillah bekas pemain Persebaya juga tambah efektif membantu penyerangan. Namun sekalipun di bawah form terbaiknya Imrisan depan Persija tanpa Risdianto cukup membuat repot Pariman. Veteran-veteran PSMS Sarman, Tumsila dan Wibisono juga tak kalah gertak. Mereka menekan Ronny Pasla yang sore itu patut dicatat ketrampilannya. Cuma pemain nasional Nobon tidak tampak permainannya, kecuali hasrat besarnya untuk menghadang lawan dengan cara kasar. Jakarta akhirnya menang 2-0.
Di hari kedua dan untuk seterusnya, minat penggemar sepakbola ternyata digiring ke arah lain. Bukan Jakarta dan Medan lagi yang disorot, sebuah team lain tampak menonjol: PSM Ujung Pandang, si Kuda Hitam. “Modal kami hanya semangat tinggi dengan tujuh pemain dari team Suratin”, ujar Ilyas Haddade coach PSM Ujung Pandang, “bisa menang sekali saja kami sudah bangga”. Namun bukan sekali. Persebaya dan Persija ditundukkan masing-masing 2-1 .
Kemenangan atas Persebaya sekaligus menurunkan gambaran keampuhan regu Jawa Timur yang mulanya ditonjolkan akan merebut piala kali ini. Inilah mula surprise turnamen. Dipimpin oleh kapten Ronny Pattinasarani yang tenang dan taktis PSM betul-betul boleh membanggakan hasil peremajaan mereka. Barisan belakang yang dijaga kwartet Nur Amir, Mallawing dan dua old track Hafid dan Akhmad Jauhari. Ini tembok beton bagi penyerang Persebaya dan Persija. Sebaliknya penyerang kawakan seperti Jacob, Waskito dan Kadir bagaikan kebesaran terompah kandas di muka kiper Saleh Bahang. “Kecil-kecil kelihatannya, tapi eh bola saya hilang terus”, ujar Jacob berkelakar mengomentari pemin-pemain muda PSM keesokan harinya.
Tampaknya kepindahan Junaedi cukup berarti buat kesebelasan yang punya prinsip “terlalu riskan menggabungkan pemain muda dengan senioren”, seperti kata Joko Sutopo sebelumnya. Makan Kaki Lawan Ketika Persija pun dikalahkan mereka, lengkaplah sudah harapan orang akan melihat wajah satu kebelasan baru menggantikan mereka yang selama ini merajai setiap turnamen PSSI. Hanya dengan modal fanatik mereka tampak siap mempertaruhkan segalanya demi pertarungan sore itu. Dimotori kembali oleh Ronny, PSM benar-benar telah menyulitkan anak-anak Aliandoe. Ketiga pemain depan Sumirta – Andi Lala. Iswadi tak banyak bisa bergerak. Kembali terasa ketakhadiran Risdianto, sekalipun Iswadi tidak jarang kembali di posnya yang asli. “Cuma Ris yang bisa turun naik, jadi tinggal Andi Lala yang harus kita jaga”, begitu petunjuk Ronny pada rekan-rekannya.
Kepada Iswadi yang dianggap bisa membuka daerah buat Lala, disodorkan Akhmad Jauhari yang telah melakukan tugasnya dengan baik. “Semua bola dari Junaedi, jadi dia juga harus diperhatikan”. Permainan meningkat keras ketika jarum jam menunjuk saat-saat pertandingan makin larut. Bahkan Ronny yang dikenal paling tidak suka main keras tampak ikut ambil-bagian dalam lakon “makan kaki lawan”. Bahkan ia mendapat kartu kuning. “Memang saya terpaksa untuk kasih semangat pada kawan-kawan”, komentarnya sesudah pertandingan. Taktik yang keliru ini memang membuahkan hasil bagi Persija ketika PSM mendapat hukuman penalti. Gol balasan untuk Persija 2-1. Sesudah dibungai dengan kericuhan dan Abdi Tunggal dikeluarkan wasit, barisan penyerang berseragam merah-merah ini hampir sepenuhnya terpancing untuk bermain keras. Begitulah sampai bubaran.
Malam harinya suasana Wisma Hasta diliputi kegembiraan. “Mereka rasakan taktik yang pernah mereka lakukan pada kami dalam kejuaraan PSSI yang lalu”, komentar Kadir atas siasat membuang-buang bola di saat sudah menang yang dilakukan PSM pada lawannya. Jamiat dan Witarsa tampak berseloroh dengan mereka. Yang jelas spekulasi jadi kacau. Harapan PSM makin besar, tetapi Persijapun masih punya kans asal Medan mampu memukul PSM keesokan harinya. Sepucuk surat “selamat bertanding” dari Ronny Pasla eks PSMS kepada Sarman dkk disobek-sobek. Dan nyatanya PSMS memang cuma mampu menahan PSM dengan draw. Sekalipun disangsikan orang keseriusan mereka. PSM toh sudah menjadi juara.
Sumber : Tempo 23 November 1974
Kesebelasan Persija berhasil mengalahkan kesebelasan Persebaya (1-0) dalam grandfinal kejuaraan nasional PSSI. Persebaya bermain kasar dan nyaris terjadi baku hantam. Wasit Djuremi tak berwibawa.
DI bawah tatapan mata gubernur Moh. Noer, kesebelasan Persebaya berbuat segala-galanya untuk merebut kembali gelar juara yang pernah direnggutnya 21 tahun yang lalu — termasuk bermain keras. Namun lebih dari 100.000 perionton Stadion Utama menyaksikan pula bahwa permainan keras yang menjurus kotor itu justru merupakan racun yang membunuh peluang juara Persebaya. Malam itu, Selasa tanggal 12 Desember, praktis merupakan peristiwa ulangan dua tahun yang lalu (6 Oktober 1971) di antara kedua kesebelasan dalam memperebutkan Kejuaraan Nasional PSSI. Dan dengan posisi tanpa kompromi yang kurang menguntungkan Persija, semula para pecandu bola dihadapkan pada teka-teki, taktik dan strategi apa yang akan dikembangkan oleh kedua kesebelasan pada saat-saat yang menentukan itu.
Daerah-tak-bertuan. Tapi rupanya untuk menjawab teka-teki itu, sepak-terjang Rusdi Bahalwan, back kiri Persebaya, memegang kuncinya. Menit-menit pertama ia berpapasan dengan Iswadi kanan-luar Persija, dan cara Rusdi membendung terobosan Kapten Persija ini, segera menjawab dengan komplit apa yang akan terjadi pada sisa-sisa pertandingan yang masih panjang. Ditambah pula dengan Wasit Djuremi yang berkwalifikasi kelas FIFA — tapi agaknya lupa membawa kartu merah — jelas pimpinannya ini memberi inspirasi bagi Persija untuk melayani tantangan lawan di kandang sendiri. Begitulah jadinya: ketika Sutan Harhara berusaha menghadang Kadir dengan cara Rusdi, arena pertandingan nyaris berubah menjadi daerah tak bertuan. Pada menit ke-15 dan selama 6 menit: petugas keamanan, wartawan-foto, ofisial dan cadangan kedua kesebelasan turut sibuk di dalam adegan yang disensu TVRI. Nampaknya siasat Persebaya unluk menteror mental anak-anak Ibukota dengan kekerasan fisik paling tidak untuk sementara berhasil. Ketika Iswadi dan Jacob Sihasale setuju untuk melanjutkan permainan, Anjasmara, Sofyan Hadi dan Sumirta nampaknya mulai ciut nyalinya. Sementara Iswadi lebih berhati-hati, meski dalam duel ia toh memperlihatkan kelihayannya untuk mengelak ataupun menggasak kaki lawan. Di dalam kemelut keras lawan keras tanpa wibawa wasit Djuremi, hanya etika pemain dan disiplin penonton agaknya yang menyelamatkan final ini dari situasi yang memburuk.
Bermuka-kartu. “Sayang Persija terpancing oleh permainan kasar Persebaya”, kata Sarman Panggabean pada TEMPO sewaktu turun minum. “Mereka sebenarnya jangan meladeni”, tambah Ronny Paslah yang turut menyaksikan di pinggir lapangan. Kedua pemain edan itu bukan tidak tahu bahwa resep mujarab yang biasa dipaka PSMS mengalahkan Persija, kini sedang ditrapkan Persebaya terhadap anak-anak Jaya. Tapi rupanya lain Medan, lain Persebaya. Yang pertama memancing kemarahan lawan, bikin groggy mentalnya dan mencuri peluang ketika lawan lengah. Sementara Persebaya lebih mirip menjaring, hantam-kromo dan merusak keseimbangan kerjasama trio Ngurah Ray – Waskito – Kadir. Dan jangan lupa pemain seperti Risdianto yang selalu bermuka-polos bukan tidak tahu ia dan rekan-rekannya berada dalam jaring Persebaya. Itulah sebabnya di babak kedua ketika kiper Tjong dan barisan belakang Persebaya bersantaisantai mempermainkan bola – dengan maksud mengulur waktu dan memaksa pertandingan berakhir seri – Risdianto mengatur barisan depan Persija memulihkan kepercayaannya. Kesempatan itu akhirnya tiba di menit ke-78, ketika Andi Lala yang menggantikan Arwiyanto dimakan Diono. Tendangan bebas untuk Persija dali daerah penalti Persebaya terjadi. Risdianto berbisik pada Lala. Barangkali penyerang-tengah Persija ini mengingatkan rekannya bahwa dalam beberapa pertandingan terdahuhl ia terlampau sering mengecewakan suporter Persija dalam adegan di muka gawang. Dan dengan sebuah cuilan, bola disuguhkan pada Lala. Pekerjaan selan jutnya adalah menggenjot biji longkong itu ke sudut kanan gawang Persebaya. Seantero Stadion bergema. Yang tua yang muda, semuanya bangkit menyambut bobolnya gawang Tjong. Hadiah Natal dan Tahun Baru bagi warga ibukota. Bola bergulir lagi. Kini giliran Hudo Hadianto bersantai-santai. Wasit Djuremi nampaknya bingung melihat Persija bisa menang. Dan iapun makin melongo ketika Persija sama pandainya mengulur-ulur waktu.
Biang Kerok. “Tiada perarutan untuk menindak taktik mengulur waktu”, kata Ketua Komisi Wasit PSSI, Besus. Meskipun Besus mengakui bahwa biangkerok yang merampas mutu final kejuaraan 1973 ini diawali pada menitmenit pertama, ketika Djuremi sudah harus memperingatkan Rusdi Bahalwan dengan kartu kuning. “Saya akui pimpinan wasit amat buruk”, katanya pada TEMPO seusai pertandingan. Dan brengseknya pimpinan wasit itu tak perlu dipungkiri, ikut pula merusak mutu permainan yang semula diharapkan paling tidak bisa berkembang seperti dalam final Persija – Persebaya (1-1) dua tahun lalu. Tapi siapa nyana, kali ini ditutup dengan pertandingan yang paling jorok dari seluruh pertandingan di babak final kejuaraan 1973. Dan siapapun yang mencintai olahraga keras ini, toh tidak akan memicingkan mata terhadap pemerkosaan kaidah-kaidah permainannya.
Sumber : Tempo 22 Desember 1973
Artikel Tempo 12 Januari 1974 : Empat Tahun Kesebelasan Jayakarta
Dalam usia 4 tahun Jayakarta mencoba meningkatkan kegiatannya dengan pertandingan international, ke Malaysia, melawan kesebelasan Wacker (Jer-Bar). Jayakarta masuk ke Divisi I Persija.
MENGINJAK usia 4 tahun, “kami coba meningkatkan kegiatan kami dalam pertandingan internasional”, kata Frans Hutasoit, Ketua PS Jayakarta yang untuk tahun 1973 sekaligus merebut gelar “Penunjang Olahraga” (dari SIWO/PWI Jaya) dan “Pembina Olahraga” (dari SIWO/PWI Pusat). Dan pertandingan internasional “kecil-kecilan” buat Jayakarta memang terjadi di Stadion Utama Senayan pekan lalu dengan kesaksian sekitar 15.000 penonton.
Rupanya berbeda dengan PS Pardedetex dulu, team sepakbola yang disonsori Yayasan Jaya Raya ini memilih jalan dari anak-tangga paling bawah. Tahun lalu, diam-diam Jayakarta melawat ke Malaysia dan melakukan serangkaian pertandingan dengan team setempat untuk mengukur diri. Puas atau tidak hasilnya, nampaknya pimpinan Jayakarta bertekad meningkatkan kegiatannya dalam pertandingan internasional di kandang sendiri tahun ini juga. Apalagi kebetulan sekali Kesebelasan Wacker — kesebelasan amatir Jerman Barat — mengadakan perlawatan ke Asia dengan sponsor Pemerintah mereka. Begitu jadinya: debut Jayakarta dalam pertandingan internasional melawan Wacker dengan hormat mempersilahkan para penggemar sepak bola untuk menilainya.
Main kayu. Kini setelah Jayakarta melampaui fase pertama dan lulus masuk ke Divisi I Persija, orang bukannya ingin menilai klub yang terbanyak memberi suplai pemain bagi Persija dari ukuran nasional melainkan juga dari segi potensi inter-nasionalnya — dan terutama mutu komersilnya. Dari sudut pandangan ini orang tak usah ragu menyimpulkan bahwa Jayakarta masih harus menempuh perjalanan jauh untuk bisa mencapai taraf kesebelasan Pardedetex (yang pada waktu itu mayoritas terdiri dari pemain nasional). Kekalahan 1-2 lawan Wacker ikut pula menelanjangi ke-amatir-an para pemain Jayakarta: polos, sopan dan ragu-ragu untuk bermain keras dan licik. Mungkin saja itu semua adalah hasil pembinaan di asrama yang serba disiplin dan jauh dari sifat-sifat keberandalan sebagaimana lazimnya pada anak-bola. Ini pun bukan berarti mercka adalah penakut.
Pernah terjadi dalam kompetisi Persija tahun lalu mereka tak sungkan melibatkan diri dalam perkelahian total (lawan UMS). Tapi yang dimaksud di sini tentunya bukanlah sebuah nasehat supaya Jayakarta memilih jalan singkat: menangkan pertandingan dengan “main kayu”. Agaknya peranan pemain Iswadi pada Indonesia Muda, Salmon Nasution pada Maluku, Risdianto pada UMS, Oyong Liza pada Jakarta Putera dan sebagainya, perlu juga dipelajari Jayakarta. Dewasa ini nama Anjasmara Sutan Harihara, Sofyan Hadi, Andi Lala dan Sumirta tidak kurang komersilnya dari pemain nasional mana pun. Tapi memasuki “tahun macan 1974″ ini jelas mereka bukan tidak mungkin diperlakukan lawan sebagai “macan kertas” belaka.
Jayakarta di medan pertandingan mutlak membutuhkan seorang kapten yang tenang dan matang dalam setiap situasi krisis, tapi tanpa mengurangi fanatisme dan tak segan-segan bertindak keras, licik malahan kotor dalam batasbatas yang dibolehkan. Dalam sejarah sepakbola mentalitas salon — teknik tinggi dan kerjasama mulus, misalnya bukan tidak sering “sekali digebrah main kasar, terus bubar”. Jayakarta benar-benar minus seorang (saja) tokoh pemain yang kwa bakat sepakbolanya inhaerent pula dengan 1 kelicikannya.
Artikel Tempo 23 November 1974 : UJUNG PANDANG GONDOL PIALA SURATIN 74
TURNAMEN Empat Besar memperebutkan Piala Suharto tampaknya lebih menarik dari pertandingan internasional manapun.
Nafsu keempat kesebelasan untuk merebut piala juga selalu merangsang pejabat daerah yang bersangkutan untuk lebih giat memompa semangat anak-anak mereka. “Anak-anak Jakarta harus lebih fanatik”, kata Ali Sadikin beberapa hari menjelang turnamen. Sementara ketiga kesebelasan lain melalui masing-masing tokoh mereka juga sesumbar menambah ramai perhitungan di atas kertas sebelum bola digulirkan. “Kami datang dengan pemain muda untuk mencari pengalaman”, ujar Daeng Patompo rendah hati.
Paling menarik tentulah tekad ketiga kesebelasan daerah yang sama berprinsip: biar tak bawa piala asal jangan kalah dari Persija. Regu ibukota punya persiapan paling matang dibanding ketiga saingannya. Iswadi spesial didatangkan dari Australia. Namun kehadirannya memperkuat Persija disangsikan status keamatirannya oleh para team manager dalam technical meeting. “Cuma Ketua Umum yang tahu bagaimana statusnya”, begitu jawaban yang diterima Zulkarnaen, coach PSMS dalam pertemuan teknis. Bunyi peluit pertama mempertemukan PSMS lawan Persija. Hasilnya: Rp 14.095.750. Dua tahun yang lalu dalam acara yang sama, Persija unggul 1–0 dari lawannya ini. Musuh bebuyutan. Kebesaran Terompah “Kami akan main keras, sebab ini ciri khas Medan”, ujar coach Zulkarnaen. “Kami akan layani mau main cara apa saja”, jawab Aliandoe. Namun disaksikan 80.000 penonton, Persija yang konon nyali bermain kerasnya disangsikan orang (paling tidak oleh lawan mereka), sore itu menghidangkan siasat semacam “Ali kontra Foreman”.
Satu siasat yang di luar perhitungan lawannya. Dimotori Iswadi rmereka tampil dengan permainan tabah. Suaeb Rizal dan Salmon Nasution dipercaya untuk melayani kekerasan lawan. Trio lswadi Andi Lala – Sumirta melibatkan Yuswardi dan Anwar Ujang dalam mara bahaya berkepanjangan, begitu Sudarso meniup peluitnya. Lini penghubung yang diperkuat oleh Junaedi Abdillah bekas pemain Persebaya juga tambah efektif membantu penyerangan. Namun sekalipun di bawah form terbaiknya Imrisan depan Persija tanpa Risdianto cukup membuat repot Pariman. Veteran-veteran PSMS Sarman, Tumsila dan Wibisono juga tak kalah gertak. Mereka menekan Ronny Pasla yang sore itu patut dicatat ketrampilannya. Cuma pemain nasional Nobon tidak tampak permainannya, kecuali hasrat besarnya untuk menghadang lawan dengan cara kasar. Jakarta akhirnya menang 2-0.
Di hari kedua dan untuk seterusnya, minat penggemar sepakbola ternyata digiring ke arah lain. Bukan Jakarta dan Medan lagi yang disorot, sebuah team lain tampak menonjol: PSM Ujung Pandang, si Kuda Hitam. “Modal kami hanya semangat tinggi dengan tujuh pemain dari team Suratin”, ujar Ilyas Haddade coach PSM Ujung Pandang, “bisa menang sekali saja kami sudah bangga”. Namun bukan sekali. Persebaya dan Persija ditundukkan masing-masing 2-1 .
Kemenangan atas Persebaya sekaligus menurunkan gambaran keampuhan regu Jawa Timur yang mulanya ditonjolkan akan merebut piala kali ini. Inilah mula surprise turnamen. Dipimpin oleh kapten Ronny Pattinasarani yang tenang dan taktis PSM betul-betul boleh membanggakan hasil peremajaan mereka. Barisan belakang yang dijaga kwartet Nur Amir, Mallawing dan dua old track Hafid dan Akhmad Jauhari. Ini tembok beton bagi penyerang Persebaya dan Persija. Sebaliknya penyerang kawakan seperti Jacob, Waskito dan Kadir bagaikan kebesaran terompah kandas di muka kiper Saleh Bahang. “Kecil-kecil kelihatannya, tapi eh bola saya hilang terus”, ujar Jacob berkelakar mengomentari pemin-pemain muda PSM keesokan harinya.
Tampaknya kepindahan Junaedi cukup berarti buat kesebelasan yang punya prinsip “terlalu riskan menggabungkan pemain muda dengan senioren”, seperti kata Joko Sutopo sebelumnya. Makan Kaki Lawan Ketika Persija pun dikalahkan mereka, lengkaplah sudah harapan orang akan melihat wajah satu kebelasan baru menggantikan mereka yang selama ini merajai setiap turnamen PSSI. Hanya dengan modal fanatik mereka tampak siap mempertaruhkan segalanya demi pertarungan sore itu. Dimotori kembali oleh Ronny, PSM benar-benar telah menyulitkan anak-anak Aliandoe. Ketiga pemain depan Sumirta – Andi Lala. Iswadi tak banyak bisa bergerak. Kembali terasa ketakhadiran Risdianto, sekalipun Iswadi tidak jarang kembali di posnya yang asli. “Cuma Ris yang bisa turun naik, jadi tinggal Andi Lala yang harus kita jaga”, begitu petunjuk Ronny pada rekan-rekannya.
Kepada Iswadi yang dianggap bisa membuka daerah buat Lala, disodorkan Akhmad Jauhari yang telah melakukan tugasnya dengan baik. “Semua bola dari Junaedi, jadi dia juga harus diperhatikan”. Permainan meningkat keras ketika jarum jam menunjuk saat-saat pertandingan makin larut. Bahkan Ronny yang dikenal paling tidak suka main keras tampak ikut ambil-bagian dalam lakon “makan kaki lawan”. Bahkan ia mendapat kartu kuning. “Memang saya terpaksa untuk kasih semangat pada kawan-kawan”, komentarnya sesudah pertandingan. Taktik yang keliru ini memang membuahkan hasil bagi Persija ketika PSM mendapat hukuman penalti. Gol balasan untuk Persija 2-1. Sesudah dibungai dengan kericuhan dan Abdi Tunggal dikeluarkan wasit, barisan penyerang berseragam merah-merah ini hampir sepenuhnya terpancing untuk bermain keras. Begitulah sampai bubaran.
Malam harinya suasana Wisma Hasta diliputi kegembiraan. “Mereka rasakan taktik yang pernah mereka lakukan pada kami dalam kejuaraan PSSI yang lalu”, komentar Kadir atas siasat membuang-buang bola di saat sudah menang yang dilakukan PSM pada lawannya. Jamiat dan Witarsa tampak berseloroh dengan mereka. Yang jelas spekulasi jadi kacau. Harapan PSM makin besar, tetapi Persijapun masih punya kans asal Medan mampu memukul PSM keesokan harinya. Sepucuk surat “selamat bertanding” dari Ronny Pasla eks PSMS kepada Sarman dkk disobek-sobek. Dan nyatanya PSMS memang cuma mampu menahan PSM dengan draw. Sekalipun disangsikan orang keseriusan mereka. PSM toh sudah menjadi juara.
Sumber : Tempo 23 November 1974
Artikel Tempo 04 Januari 1975 : Dollar Buat Persija
DEBUT Persija dalam turnamen bayaran di Hongkong tidak mengecewakan.
Dalam pertandingan 4-besar di hari Natal 1974 anak-anak Jakarta berhasil
mengantongi 7 ribu dollar (AS) dan gelar runner-up.
Memukul kesebelasan tuan-rumah Seiko 1-0 di hari pertama, Persija
dipaksa tunduk di final oleh kesebelasan Korea Selatan 1-3, yang
sebelumnya menundukkan South China 3-0. Final antara Korea dan Indonesia
itu digambarkan South, China Morning Post sebagai pertandingan yang
enak ditonton. Kedua kesebelasan memperlihatkan ciri-cirinya. Fihak
Korea berhasil merenggut juara, tapi fihak Indonesia dengan permainan
yang cepat dan cerdik, menawan – hati 8.482 penonton Stadion Hongkong.
Sayang sekali, kata koran itu selanjutnya, dalam pertandingan secantik
ttu terpaksa diakhiri dengan fihak yang kalah. Kerja Mesin Persija
bermain dengan terbuka dan mendemonstrasikan ketrampilan dan keahliannya
mengolah bola. Sementara Korea Selatan yang teknis sedikit di bawah
lawannya mengimbangi dengan sistim pertahanan ketat dan semangat-juang
yang tak pernah kendor sepanfang 90 menit. Kerjasama Indonesia di
lapangan tengah amat menyenangkan publik Hongkong. Pertukaran tempat dan
kombinasi membuka serangan selicin kerja mesin. Tapi begitu barisan
depan yang dipimpin Junaedi Abdillah dengan ujung tombak Iswadi
mendekati daerah gawang, mereka dihadang oleh barisan pertahanan Korea
yang bermain mati-matian. Gol pertama Korea terjadi lewat tendangan
bebas tak langsung, akibat pelanggaran poroshalang. Oyong Liza dua menit
setelah wasit Jim Thorpe membuka pertandingan.
Tapi setelah permainan berlangsung 15-menit jalan pertandingan praktis
dikuasai pemain-pemain Jakarta. Dua kali Anjasasmara dan Iswadi di babak
kedua masing-masing nyaris membobolkan gawang lawan, sementara serangan
lawan dua kali berhasil memaksa Raka memungut bola dari dalam jala.
Pada menit-menit terakhir Sofyan Hadi sempat membuat goal balasan. Buat
penggemar sepakbola Hongkong, turnamen hari Natal itu merupakan hiburan
tahun baru yang bermutu. Kalau ada fihak yang kalah – kata penonton
Hongkong – maka fihak tuan rumahlah yang menderita. Bukan saja mereka
(Seiko dan South China) tersisihkan, tapi mereka nampaknya harus
menombok untuk menutup biaya turnamen.
Artikel Tempo 11 Januari 1975 : BIARLAH PERSIJA SAJA ( PERSIJA VS OFFENBACH )
BERGANTI tahun bersama Kickers Offenbach, PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah III, Wilayah I dan Persija untuk melayani sang tamu.
Offenbach yang pernah mencukur Kesebelasan Nasional 5-1 yang melawat ke Jerman Barat tahun lalu, mengalahkan Wilayah III dan Wilayah I masing-masing 4-2 dan 5-0. Dua pertandingan di buntut tahun 1974 itu pas betul terjadinya. Seolah peristiwa itu ingin mengingatkan betapa terbengkalai pembinaan sepakbola di daerah. Tapi bersama terbenamnya pesimisme di tahun yang lalu, harapan cukup cerah muncul bersama prestasi Kesebelasan Persija di tahun baru. Dalam dua pertandingan awal tahun 1975, dua kekalahan Persija 2-3 dan 2-1 malahan mengembangkan optimisme baru bagi penggemar sepakbola. Kesebelasan Wilayah III yang berintikan Persebaya, agaknya menitipkan pesan bahwa beberapa pemain seperti Abdulkadir dan Waskito masih berguna untuk memberi perlawanan terhadap team yang mutunya setingkat lebih tinggi.
Sementara itu Kesebelasan Wilayah I yang berintikan PSMS Medan menyingkap kesuraman sepakbola di Sumatera Utara yang beberapa tahun lalu pernah memegang kemudi sepakbola nasional. Kesempatan Bekerja Usaha PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah sebagai ganti team nasional cukup simpatik. Terutama dengan alasan untuk mernberikan kesempatan kepada daerah ikut berkembang. Namun penyusunan kesebelasan yang cenderung berdasarkan penjatahan pemain, nampaknya hanya melahirkan kesebelasan yang timpang, kalau tidak mau dikatakan percobaan yang sia-sia. Apa yang diharapkan Kesebelasan Wilayah, tanpa persiapan yang matang, ingin memberi perlawanan bermutu terhadap kesebelasan calon juara dari negeri pemegang mahkota Kejuaraan Dunia? Satu-satunya perlindungan bagi pengurus PSSI yang baru dalam hal ini adalah kenyataan bahwa mereka belum diberikan kesempatan bekerja.
Sementara kontrak mendatangkan Offenbach telah dibikin pengurus yang lama. Akan, halnya kesebelasan Persija, ia telah melupakan orang sebentar dengan kesebelasan nasional. Juara PSSI ini yang biasanya bergaya salon berhasil memberi perlawanan menurut mutu yang disuguhkan lawan. Dalam pertandingan pertama (3 Januari), stempel baru pantas diberikan kepada team Ibukota ini. Sutan Harhara-Oyong Liza-Suaib Rizal-Iim Ibrahim di lini belakang, ternyata dapat membangun pertahanan konstruktif. Mereka mematahkan serangan lawan tidak dengan resep lama: membuang bola jauh jauh, mentackle lawan dengan kekerasan melulu. Tapi mereka imbangi dengan kombinasi yang efektif. Permainan keras dibarengi kontrol yang matang. Ketrampilan mereka mempermainkan bola tidak mati oleh kesibukan dan kegairahan yang timbul dari situasi di muka gawang Ronny Pasla.
Maka betapa enaknya ditonton bila terjadi komunikasi antara barisan pertahanan dengan lini tengah yang di percayakan pada Junaedi Abdillah, Anjasmara dan Sofyan Hadi. Persija dengan kata lain berhasil mempraktekkan bahwa lini pertahanan sebagai basis pertama didalam melakukan penyerangan. Ditambah pula dengan kegiatan lapis melapis oleh lim dan Sutan dari kedua sayap, membikin repot pertahanan lawan. Satu hal yang amat menonjol dalam membantu serangan oleh kedua back Persija. ini, ialah mereka tidak sembarang mengangkat bola ke muka gawang lawan. Mereka kini pandai membuat kombinasi pendek-rendah, sehingga memudahkan Andi Lala, Iswadi dan Sumirta di barisan depan membuat improvisasi.
Kacamata Kuda Kalau Junaedi berhasil bertindak sebagai pengatur serangan, Iswadi tak kurang lihaynya turun naik ikut melepaskan kawan-kawannya dari kepungan lawan. Sofyan Hadi dan Anjas yang biasanya mengalami kesulitan dalam benturan badan, pada kedua pertandingan tersebut tidak mengalami kesulitan berarti. Dalam tempo pertandingan yang cukup tinggi, mereka tahu kapan harus mengolah bola dan kapan melepasnya. Dan pujian patut diberikan kepada Andi Lala. Ia makin matang. “Kacamata kuda”nya kini telah ditanggalkan. Ia tidak asal menerjang bagaikan anjing pacuan lepas dari kandang. Bahkan Lala pandai memanfaatkan tangannya untuk menyontek bola dan menggenjotnya untuk melahirkan gol. Satu-satu ketimpangan yang dirasakan agaknya terjadi pada diri Sumirta. Dalam situasi yang menuntut ketenangan ia justru menampakkan kegugupan. Pantas sekali ia diganti Taufik Saleh. Titik lemah lainnya berkisar pada dan Ronny Pasla, meskipun gol kedua (pertandingan pertama) kesalahan harus dibagi rata bersama Sutan Harhara. Back kanan Persija ini entah apa sebabnya menunggu bola, membiarkan lawan, menerjang ke arah gawang.Mobilisasi Umum Harapan orang melihat Persija mengulangi permainan pendek, kombinasi cepat dan diselingi umpan-umpan tajam, tidak begitu berhasil dalam pertandingan kedua (5 Januari).
Offenbach tak segan memanfaatkan kelebihan fisik dan tekniknya. Di tengah gerimisnya hujan, mereka meningkatkan tempo permainan. Kedua sayap mereka diaktifkan dan kombinasi serangan lebih banyak dibangun dari kedua sayap, terutama sayap kanan. Penggantian Ronny oleh Raka sedikit terlambat, namun memberi kemantapan pada barisan pertahanan. Mungkin gol balasan Persija yang paling indah terjadi sewaktu Junaedi menggiring bola seorang diri ke muka gawang lawan. Tapi ketika mendadak ia dihadang back lawan dan bola nampaknya tidak sepenuhnya dikuasai, ia tidak mati akal. Ia membiarkan bola lepas dari kontrolnya tanpa mengendorkan larinya. Tapi begitu kontak fisik akan terjadi dengan back lawan, ia menjatuhkan diri. Seolah-olah ia diperlakukan curang oleh lawan. Wasit Kosasih meniup peluit – tanda hukuman penalti buat keuntungan Persija.
Konon pimpinan Offenbach menawarkan Kepada Junaedi untuk bergabung dengan klubnya. Junaedi dinilai memiliki taraf permainan prof di Eropa, terutama kecerdasan otaknya dalam mengatasi situasi meskipun ia pernah menyia-nyiakan dua kali peluang emas. Komentar orang sehabis kedua pertandingan Persija PSSI tak usah terburu-buru mengadakan mobilisasi umum untuk membentuk team lewat Pusat Pendidikan dan Latihan di Salatiga. Membina team menuntut kesabaran, makan waktu dan kejelian mata melihat bakat. Sementara ini cukuplah dengan Persija dulu.
Sumber: Tempo 11 Januari 1975
Posting Komentar